Kondom Hidrostatik Tamponade Intrauterin
sebagai Alternatif Penanganan
Perdarahan Pasca Persalinan pada Persalinan Pervaginam
Pendahuluan
Perdarahan pasca persalinan masih merupakan penyebab kematian ibu tertinggi di dunia, khususnya di negara-negara berkembang. Permasalahan ini sebenarnya adalah masalah klasik yang sudah ada sejak berabad-abad lamanya. Sejarah merekam Mumtaz Mahal (1630 – Istri dari Raja Shah Jahan) di India, dan Ratu Charlotte Augusta dari Wale, Inggris (1817), keduanya meninggal dunia karena perdarahan pasca persalinan. RA Kartini, pejuang hak-hak wanita di Indonesia ini, meninggal dunia karena perdarahan pasca persalinan lanjut, empat hari setelah ia melahirkan putra pertamanya diusianya yang ke-25 pada tanggal 17 september 1904. Nasib tragis yang menimpa Kartini itu pula yang kini masih menimpa sebagian ibu Indonesia setiap tahun yang meninggal akibat melahirkan.
Angka kematian ibu di Indonesia menurut Biro Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2005 adalah 262 per 100 ribu kelahiran hidup. Dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita, pada tahun 2000, angka ini masih jauh tertinggal dibandingkan dengan angka kematian ibu di negara tetangga. Malaysia masih jauh di bawah Indonesia yaitu 41 per 100 ribu kelahiran hidup, Singapura 6 per 100 ribu kelahiran hidup, Thailand 44 per 100 ribu kelahiran hidup, dan Filipina 170 per 100 ribu kelahiran hidup. Padahal, tahun 2000 itu angka kematian ibu di Indonesia masih berkisar di angka 307 per 100 ribu kelahiran hidup. Bahkan Indonesia kalah dibandingkan Vietnam, Negara yang belum lama merdeka, yang memiliki angka kematian ibu 160 per 100 ribu kelahiran hidup.
Dilihat dari angka statistik ini, angka kematian ibu di Indonesia masih yang tertinggi diantara negara-negara di Asia Tenggara. Di Indonesia, perdarahan pasca persalinan menyumbangkan angka pertama penyebab kematian ibu, setelah eklampsia dan infeksi..
Dilihat dari angka statistik ini, angka kematian ibu di Indonesia masih yang tertinggi diantara negara-negara di Asia Tenggara. Di Indonesia, perdarahan pasca persalinan menyumbangkan angka pertama penyebab kematian ibu, setelah eklampsia dan infeksi..
Dalam satu dekade terakhir ini, banyak cara baru ditemukan untuk menanggulangi perdarahan pasca persalinan, yang diharapkan dapat menekan angka kematian ibu. Dalam tatalaksana perdarahan pasca persalinan, urutan tindakan yang cepat dan tepat, akan membuat pasien dapat tertangani dengan baik. Untuk memudahkan tatalaksana, digunakan istilah singkatan HAEMOSTASIS, yang sekaligus merupakan prinsip tatalaksana perdarahan pasca persalinan, yaitu hemostasis atau hentikan perdarahan.
H | Help. Ask for help. | INITIAL MANAGEMENT |
A | Assess (vital parameters, blood loss) and resucitate. | |
E | Establish aetiology, ensure availability of blood, ecbolics (oxytocin, ergometrine, or syntometrine bolus IV/IM). | |
M | Massage uterus. | |
O | Oxytocin infusion, ergometrin bolus IV/IM, prostaglandins per rectal. | MEDICATION MANAGEMENT |
S | Shift to the theatre. Exclude retain products and trauma, bimanual compression, abdominal aorta compression. | NON-SURGICAL CONSERVATIVE MANAGEMENT |
T | Tamponade balloon and uterine packing | |
A | Apply compression uterus, B-lynch technique or modified, Lasso-Budiman technique. | SURGICAL CONSERVATIVE MANAGEMENT |
S | Systemic pelvic devascularization: uterine, ovarian, quadriple, internal iliaca. | |
I | Interventional radiologist, if appropriate, uterine artery embolization. | |
S | Subtotal/total hysterectomy. | LAST EFFORT – SURGICAL NON-CONSERVATIVE MANAGEMENT |
Non surgical conservative management
Pada perdarahan pasca persalinan yang terjadi di suatu tempat dengan fasilitas minimal, seperti tidak tersedianya dokter ahli obstetri, rumah sakit rujukan yang jauh, penanganan non pembedahan untuk perdarahan pasca persalinan bukan lagi merupakan pilihan dan sudah merupakan suatu keharusan.
Non surgical conservative management atau tatalaksana konservatif non pembedahan untuk perdarahan pasca persalinan adalah tindakan non pembedahan yang dilakukan setelah tatalaksana medikamentosa gagal mengatasi perdarahan pasca persalinan, pada saat menunggu tatalaksana lebih lanjut seperti laparotomi atau merujuk pasien ke rumah sakit. Tamponade intrauterin dengan menggunakan balon adalah tindakan yang tidak invasif dan tindakan yang paling cepat dan tindakan ini logis untuk dilakukan sebagai langkah pertama bila tatalaksana menggunakan medikamentosa gagal mengatasi perdarahan pasca persalinan.
Arulkumaran dan kawan-kawan, melakukan systematic review untuk mengidentifikasi angka keberhasilan pada semua penelitian tentang penanganan perdarahan pasca persalinan secara konservatif dengan menggunakan balon tamponade intrauterin, penjahitan untuk kompresi uterus, devaskularisasi pelvis dan embolisasi arteri. Setelah dilakukan eksklusi dari 396 publikasi, 46 penelitian dmasukkan ke dalam systematic review ini. Dari kajian yang telah dilakukan ini, didapatkan angka keberhasilan 90,7% untuk embolisasi arteri, 84 % untuk balon tamponade, 91,7% untuk kompresi uterus dengan penjahitan, 84,6% untuk ligasi arteri iliaka interna atau devaskularisasi uterus.
Penggunaan kassa gulung tamponade intrauterin dalam penanganan perdarahan pasca persalinan terjadi penurunan setelah 1950 karena efek samping yang ditimbulkannya. Perdarahan tersembunyi, terjadinya infeksi dan pendekatan yang tidak fisiologis saat aplikasi, kemungkinan terjadinya trauma saat memasukkan kassa gulung ke dalam uterus, menjadi concern utama ditinggalkannya teknik ini. Tetapi sejak dilakukan kajian kembali pada awal 1980 dan 1990, ketakutan terjadinya efek samping seperti di atas tidak terbukti.
Secara prinsip, tamponade intrauterin membutuhkan tekanan intrauterin yang cukup untuk menghentikan perdarahan. Hal ini dapat dicapai dengan 2 cara:
1. Dengan cara memasukkan balon yang digembungkan didalam kavum uteri, yang akan memenuhi semua ruang, sehingga akan tercapai tekanan intrauterin yang lebih besar dari tekanan sistemik arteri. Apabila tidak terjadi laserasi, perdarahan akan berhenti.
2. Dengan cara memasukkan kassa gulung sebagai tampon ke dalam uterus, kemudian dipadatkan, yang akan menekan pembuluh darah, sehingga perdarahan akan berkurang atau berhenti.
Tamponade uterus menggunakan kassa gulung, masih merupakan pilihan, jika balon kateter atau balon yang lain tidak tersedia. Risiko infeksi intrauterin bisa diminimalkan dengan antibiotik profilaksis.
Di Indonesia, kematian maternal karena perdarahan pasca persalinan masih cukup tinggi, sehingga dibutuhkan metode yang aman, murah, mudah, tersedia di mana saja termasuk di puskesmas, dan dapat dikerjakan oleh siapa saja, termasuk petugas kesehatan di tingkat puskesmas untuk menangani perdarahan pasca persalinan yang tidak berespon terhadap medikamentosa. Penggunaan misoprostol untuk tatalaksana perdarahan
Pada saat tidak tersedia medikamentosa, kegagalan penggunaan medikamentosa, atau adanya kontraindikasi untuk penggunaan medikamentosa, adalah penting untuk mempunyai alternatif metode lain yang sesegera mungkin dapat dilakukan untuk penanganan perdarahan pasca persalinan. Variasi berbagai intervensi pembedahan dapat digunakan, seperti ligasi arteri hipogastrika, ligasi arteri uterina, ligasi arteri ovarika dan teknik b-lynch serta modifikasinya. Semua prosedur di atas efektif untuk menghindari histerektomi, tetapi penundaan dalam mengerjakan prosedur ini menunjukkan prognosis yang buruk. Lagipula, prosedur ini harus dikerjakan oleh petugas kesehatan yang terlatih, yaitu dokter ahli kebidanan dan dikerjakan minimal di rumah sakit dengan fasilitas ruang operasi. Intervensi pembedahan ini juga bukan merupakan intervensi awal pada kasus perdarahan pasca persalinan pada persalinan per vaginam.
Metode Sayeba dan modifikasinya
Metode inovatif yang diperkenalkan pada tahun 1997 oleh Profesor Sayeba Akhter, ahli kebidanan dari Bangladesh, adalah penggunaan kondom kateter hidrostatik intrauterin untuk penanganan perdarahan pasca persalinan. Bahan yang digunakan adalah kateter Folley no 24, kondom, blood set (set transfusi) atau infuse set (set infus), cairan garam fisiologis. Benang chromic atau silk untuk mengikat dan beberapa tampon bola untuk fiksasi. Kateter Folley steril dimasukkan ke dalam kondom, dan diiikat dengan pangkal kondom menggunakan benang silk dan ujung luar dari kateter dihubungkan dengan infus set yang berisi cairan salin. Setelah kateter dimasukkan ke dalam uterus, kondom digembungkan dengan 250 – 500 ml cairan salin tergantung kebutuhan dan pada ujung luar kateter diikat dan set infus/set transfusi dikunci begitu perdarahan berhenti. Intervensi ini dapat dilakukan dengan murah, mudah, cepat dan tidak membutuhkan petugas kesehatan yang terlatih. Harga bahan yang digunakan juga terjangkau. Harga kateter folley no 24 adalah $1,5 USD, kondom tidak lebih dari $ 0,2 USD, set infus/set transfusi $ 1 USD. Cairan harganya $ 0,5 USD per buah. Lain-lain tidak lebih dari $ 1 USD. Total tidak lebih dari $ 5 USD yang hampir setara dengan Rp. 50.000,00 (Lima puluh ribu rupiah). Metode ini dinamakan ”Metode Sayeba untuk mengatasi perdarahan pasca persalinan” sesuai dengan nama penemunya, yaitu Professor Sayeba. Pada penelitiannya, 23 pasien dilakukan intervensi dengan kondom kateter setelah mengalami perdarahan pasca persalinan. Dari 23 pasien tersebut, 19 (82%) pasien mengalami perdarahan pasca persalinan primer, 4 (17%) pasien mengalami perdarahan pasca persalinan sekunder. Dari 23 pasien tersebut, 12 (52%) mengalami syok akibat perdarahan yang hebat. Pada kasus ini, kondom kateter segera diaplikasikan tanpa menunggu penanganan medikamentosa terlebih dahulu. Pada kasus yang lain, masase fundus dan pemberian uterotonika (methergin dan oksitosin, sedangkan misoprostol tidak digunakan dalam institusi ini) gagal menghentikan perdarahan pada 10 pasien. Dan pada 1 pasien, teknik kompresi penjahitan uterus yang dikerjakan pada pasien dengan perdarahan pasca persalinan tidak menghentikan perdarahan. Pada kebanyakan kasus (56,5%), kondom kateter dipasang dalam waktu 0-4 jam setelah melahirkan. Sedangkan pada 32,7% kasus, dikerjakan antara 5-24 jam setelah melahirkan. Pada 23 pasien ini, perdarahan berhenti dalam waktu 15 menit. Dilakukan pemantauan selama 48-72 jam. Tidak ada pasien yang membutuhkan intervensi lebih lanjut, dan tidak ada morbiditas yang serius yang ditemukan. Dibutuhkan 200-500 ml (rata-rata 336,4 ml) larutan garam fisiologis untuk menggembungkan balon. Rata-rata 3,23 unit darah (berkisar 2-10 unit) dibutuhkan untuk mencapai stabilitas hemodinamik. Tidak ada pasien yang jatuh ke dalam syok yang ireversibel. Tidak ada infeksi intrauterin dilihat dari tanda dan gejala klinis, maupun laboratoris dari kultur sensitivitas apusan vagina.
Pada tulisan ini, metode yang diperkenalkan adalah modifikasi teknik Sayeba, yang menghilangkan komponen kateter Folley no 24, dengan alasan penggunaan kateter dengan metode ini tidak bermakna. Kateter Folley no 24 tidak selalu ada di puskesmas, dan penggunaan kateter Folley no 16 dan no 18 membutuhkan waktu yang lama untuk mengalirkan cairan ke dalam kondom. Di samping itu, biaya akan menjadi lebih murah, karena komponen harga berkurang $1,5 USD. Sehingga total biaya yang semula Rp. 50.000,00 berkurang hingga Rp. 35.000,00. Selain itu, waktu yang dibutuhkan untuk merakit metode ini menjadi lebih cepat, karena tidak perlu menyambungkan kondom dengan set infus/set transfusi. Metode ini dinamakan kondom hidrostatik intrauterin untuk penanganan perdarahan pasca persalinan.
Bahan yang digunakan hampir sama dengan metode Sayeba, tetapi tanpa kateter Folley no 24. Bahan-bahannya adalah kondom, blood set (set transfusi) atau infuse set (set infus), cairan garam fisiologis. Benang chromic atau silk atau benang tali pusat untuk mengikat dan beberapa tampon bola untuk fiksasi. Set infus/set transfusi yang sudah disambungkan dengan cairan, ujungnya dimasukkan ke dalam kondom, kemudian kondom diikat pada ujung set infus/set transfusi, kemudian dimasukkan ke dalam kavum uteri, dan kemudian digembungkan dengan mengalirkan cairan melalui set infus/set transfusi. Kondom ini bisa digembungkan rata-rata 500 cc. Bahkan di literatur lain, disebutkan apabila perdarahan masih terus mengalir, kondom dapat digembungkan mencapai 2000 cc. Isu tentang kekuatan kondom ini sendiri kadang menjadi pertanyaan. Menurut Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat, kondom yang terjual di pasaran sudah melewati quality control, dan memenuhi syarat karakteristik fisik yang ditentukan. Kondom minimal harus memiliki tensile strength 15.000 pounds psa dan minimal harus bisa dilakukan elongasi sampai dengan 625% sebelum kemudian robek atau pecah.
Kesimpulan
1. Penggunaan kondom hidrostatik tamponade intrauterin ini adalah aman, sederhana, murah untuk menghentikan perdarahan pasca persalinan dan dapat dijadikan pilihan utama untuk perdarahan pasca persalinan pada persalinan pervaginam.
2. Seluruh petugas kesehatan termasuk bidan dapat melakukan teknik ini saat menghadapi perdarahan pasca persalinan.
3. Tes tamponade menggunakan kondom hidrostatik tamponade intrauterin ini, dapat dijadikan pilihan untuk menentukan apakah tindakan pembedahan lebih lanjut diperlukan atau tidak.
Dibutuhkan lebih banyak kasus dan pengalaman apabila teknik ini akan digunakan sebagai praktek rutin
godd job
BalasHapus